Sejarah Realisme Sosialis di Indonesia: Pergulatan Seniman dan Sastrawan dalam Situasi Sosial Politik 1950-1965

LUQMAN ABDUL HAKIM, . (2017) Sejarah Realisme Sosialis di Indonesia: Pergulatan Seniman dan Sastrawan dalam Situasi Sosial Politik 1950-1965. Sarjana thesis, UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA.

[img] Text
SKRIPSI Luqman Abdul Hakim.pdf

Download (7MB)

Abstract

Penelitian ini membahas tentang sejarah pemikiran realisme sosialis yang berkembang di kalangan seniman dan sastrawan Indonesia tahun 1950-1965. Realisme sosialis berkembang di bawah organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terbentuk pada 17 Agustus 1950. Pemikiran tersebut hilang dan dilarang semenjak tahun 1965 sebagai dampak dari peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Tujuan penelitian ini adalah untuk menelusuri kembali perkembangan realisme sosialis sebagai pemikiran yang lahir dari konteks sosial-politik Indonesia tahun 1950-1965. Hal ini dikarenakan pandangan umum tentang realisme sosialis telah disederhanakan sebagai doktrin ideologi komunisme di bidang kesenian dan kesusasteraan. Penelitian ini menggunakan metode historis dengan kerangka analisis teori poskolonialisme. Teori poskolonialisme digunakan untuk menganalisa kondisi sosial seniman dan sastrawan Indonesia setelah merdeka dalam merespon unsur-unsur kolonialisme. Teori poskolonialisme dalam kajian sejarah berguna untuk melihat bagaimana kecenderungan masyarakat pasca-kolonial dalam merumuskan identitas mereka sebagai bangsa yang merdeka. Sumber-sumber yang mendukung penelitian ini adalah sumber-sumber tertulis berupa esai-esai di majalah maupun surat kabar sezaman. Sumber lain yang mendukung penelitian ini adalah film dokumenter dan video wawancara para mantan seniman dan sastrawan Lekra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran realisme sosialis berkembang dalam suatu kondisi dimana adanya anggapan di kalangan seniman bahwa kebudayaan Indonesia belum lepas dari penjajahan. Anggapan ini muncul dimasa revolusi (1945-1949) dimana perjuangan fisik dan diplomasi untuk mempertahankan kedaulatan politik Indonesia tidak diiringi dengan perjuangan di bidang kebudayaan. Berdirinya STICUSA, lembaga kerja sama budaya antara Indonesia dan Belanda di tahun 1948 membuat para sebagian seniman membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) untuk memperjuangkan kebudayaan Indonesia dari penjajahan. Sebagai landasan teoritis bagi kerja-kerja perjuangan kemerdekaan kebudayaan Indonesia, realisme sosialis dianggap tepat oleh seniman dan sastrawan Lekra karena membantu menampilkan keadaan sosial rakyat Indonesia dan memiliki keberpihakan terhadap sebuah perubahan sosial lewat seni dan sastra. Seniman dan sastrawan Lekra juga melihat keberadaan negara-negara asing dengan kebudayaan yang maju diantaranya Uni Soviet dan Tiongkok yang juga menjadikan realisme sosialis sebagai landasan teoritis kesenian dan kesusasteraan. Realisme sosialis dalam kesenian dan kesusasteraan merupakan landasan untuk menempuh perubahan sosial demi meraih kemerdekaan seutuhnya bagi rakyat Indonesia. Kekecewaan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia semakin jelas di masa demokrasi liberal (1950-1957). Ketidakstabilan politik, kesejahteraan yang hanya dikuasai beberapa kelas sosial, masih bercokolnya kekuatan asing di bidang ekonomi dan praktik korupsi yang merajalela membuat para seniman Lekra semakin yakin bahwa kemerdekaan Indonesia belum sepenuhnya diraih. Oleh karena itu, ketika Soekarno mengutarakan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin, para seniman Lekra mendukung konsepsi tersebut. Dukungan ini terus berlanjut hingga dicetuskannya Dekrit Presiden 1959 yang bertujuan untuk melanjutkan kembali revolusi Indonesia. Di masa demokrasi terpimpin inilah realisme sosialis bukan hanya menjadi panduan bagi seniman dan sastrawan Lekra untuk melakukan perubahan sosial, melainkan juga menjadi pandangan yang mendukung politik kebudayaan di tahun 1959-1965. This study discusses the history of the idea of socialist realism that developed among artists and writers in Indonesia in 1950-1965. Socialist realism flourished under the organization People's Cultural Institute (LEKRA) formed on August 17, 1950. The idea of socialist realism banned since 1965 as a result of the events of 30 September Movement (G30S). The purpose of this study was to retrace the development of socialist realism as an idea born of the socio-political context of Indonesia in 1950-1965. This is because the general view of socialist realism has been simplified as doctrinaire ideology of communism in the field of art and literature. This study uses historical methods with a framework of post-colonial theory analysis. Post-colonial theory is used to analyze the social conditions of artists and writers Indonesia after independence in response to the elements of colonialism. Post-colonial theory in the study of history is useful to see how the trend of post-colonial society in formulating their identity as an independent nation. Resources that support this research are written sources of the essays in magazines and newspapers contemporaries. Another source supporting this research is documentary and video interviews of former artists and writers LEKRA. The results showed that the idea of socialist realism evolved into a condition in which the artist considers that the culture of Indonesia has not been free from colonialism. This assumption appears the days of the revolution (1945- 1949) in which the physical struggle and diplomacy to maintain political sovereignty of Indonesia is not accompanied by a struggle in the field of culture. Sticusa establishment as an institution of cultural cooperation between Indonesia and the Netherlands in 1948 to make the most of the artists form the People's Cultural Institute (LEKRA) to fight for the Indonesian culture of colonization. As a theoretical foundation for the work culture of Indonesia's independence struggle, socialist realism deemed appropriate by artists and writers LEKRA because it helps to show the social situation the people of Indonesia and has a bias towards a social change through art and literature. Artists and writers LEKRA also see the presence of foreign countries with cultures that developed among the Soviet Union and China were also made socialist realism as the theoretical foundation of art and literature. Socialist realism in art and literature is the foundation to pursue social change to achieve full independence for the people of Indonesia. Disappointment over the ideals of the independence of Indonesia that will bring prosperity for all Indonesian people become more apparent in the future of liberal democracy (1950-1957). Political instability, prosperity only mastered some social classes, foreign forces still rooted in the economy and rampant corruption make LEKRA artists are increasingly convinced that the independence of Indonesia has not fully achieved. Therefore, when Sukarno expressed conception of guided democracy, the artists LEKRA support these conceptions. This support continued until the initiation of the Presidential Decree 1959 which aims to resume the Indonesian revolution. In the period of socialist realism guided democracy is not just a guide for artists and writers LEKRA for social change, but also to be a view that supports cultural politics in the years 1959-1965.

Item Type: Thesis (Sarjana)
Additional Information: 1) Dra. Yasmis, M. Hum 2) Sugeng Prakoso, S.S., M.T
Subjects: Sejarah Dunia > Sejarah
Divisions: FIS > S1 Pendidikan Sejarah
Depositing User: sawung yudo
Date Deposited: 13 Apr 2022 01:12
Last Modified: 13 Apr 2022 01:12
URI: http://repository.unj.ac.id/id/eprint/26381

Actions (login required)

View Item View Item