BUDI FIRDAUS, . (2023) SEJARAH POLITIK BAHASA DI INDONESIA 1972-2004. Sarjana thesis, UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA.
Text
COVER.pdf Download (1MB) |
|
Text
BAB 1.pdf Download (234kB) |
|
Text
BAB 2.pdf Restricted to Registered users only Download (372kB) | Request a copy |
|
Text
BAB 3.pdf Restricted to Registered users only Download (249kB) | Request a copy |
|
Text
BAB 4.pdf Restricted to Registered users only Download (221kB) | Request a copy |
|
Text
DAFTAR PUSTAKA.pdf Download (265kB) |
|
Text
LAMPIRAN.pdf Restricted to Registered users only Download (480kB) | Request a copy |
Abstract
Bergantinya ejaan yang bertepatan dengan langkah awal rezim Orde Baru membuat beberapa golongan masyarakat pro Soekarno menganggap sebagai kebijakan untuk menghapus jejak Soekarno. Beberapa orang juga mengatakan bahwa kebijakan tersebut tak lain dan tak bukan sebagai sebuah upaya menyensor antara buku-buku yang pernah terbit di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Dalam praktiknya politik bahasa Indonesia tidak saja mengalami politisasi melalui ejaannya, melainkan politisasi bahasa Indonesia menghasilkan sebuah senjata yang ampuh sejak diusulkan menjadi bahasa nasional saat sumpah pemuda kedua. Politisasi-politisasi tersebut tidak hanya tersebar melalui lisan melainkan tersebar dengan massif melalui tulisan. Bahasa Melayu yang menjadi akar bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sudah lebih dahulu tersebar sejak tumbuhnya kebudayaan maritim selama berabad-abad orang-orang pesisir saling berjejaring dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa perantara untuk berkomunikasi. Berabad-abad kemudian muncullah Sumpah Pemuda yang secara sadar mengambil keputusan untuk mempersatukan para pemuda dengan bermacam-macam suku bangsa menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas para penuturnya. Bahasa Indonesia pada masa Orde Lama mulai dibenahi dari awal standarisasi hingga penggantian ejaan. Ejaan Van Ophuijsen yang digunakan dan disebarkan oleh pemerintahan kolonial diganti dengan hadirnya Ejaan Suwandi hal tersebut menandakan bahwa bahasa bukan sekadar alat berkomunikasi semata melainkan sebagai produk politik untuk menunjukkan siapa penguasanya. Ejaan Suwandi yang diproduksi dan diperkenalkan sebagai buah pikir Orde Lama mengalami nasib yang sama seperti Ejaan Van Ophuijsen. Diumumkannya Ejaan Yang Disempurnakan oleh Suharto pada tanggal 16 Agustus 1972 secara resmi menandai akhir dari Ejaan Suwandi hal tersebut juga berarti memberitahukan bahwa ejaan sebagai produk bahasa bisa ditafsirkan sebagai produk politik bahasa Orde Baru. Metode penelitian yang digunakan adalah historis dengan pendekatan deskriptif- naratif. Data penelitian diambil dari sumber buku, koran, artikel mengenai pengaruh dan penyesuaian Bahasa Indonesia terhadap para penuturnya. Di samping itu perluasan pengaruh Bahasa Indonesia pun dengan Ejaan Yang Disempurnakan kepada generasi yang baru akan menyebabkan kesulitan dalam membaca tulisan sebelum Orde Baru. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) di masa Orde Baru mengalami perkembangan yang pesat. Mulai dari penggunaan yang terarah hingga sasaran para penuturnya. Diwajibkannya penyebaran pembaruan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dan digunakannya bahasa Indonesia dalam praktik penulisan ilmiah. Penyebaran hal tersebut didukung dan diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Secara langsung hal tersebut turut membantu penyempurnaan serta memperkaya kosa kata bahasa Indonesia yang ikut menyerap istilah-istilah asing. Penyerapan kata dalam bahasa Indonesia mayoritas diserap dari bahasa Melayu, Arab, Sanskrit, Belanda, Jawa, dan daerah lainnya. Sebagai contoh dari penyerapan bahasa Belanda yang masih digunakan sampai saat ini adalah spoor atau yang diserap ke bahasa Indonesia dengan tulisan sepur. Hasil penelitian yang didapatkan dalam penelitian ini adalah Runtuhnya rezim Orde Lama menyisakan kosakata yang terus dijadikan alat politik Orde Baru. Bahasa rezim Orde Baru seakan-akan merupakan antitesis dari bahasa rezim Orde Lama. Kehendak politik yang kuat diperlukan untuk mengatur masalah kebahasaan yang rumit itu. Politik bahasa harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat untuk aspirasi pendemokrasian bangsa, bukan hanya sebagai alat untuk modernisasi kebudayaan dan mempersatukan orang. Bahasa Indonesia telah diterima sejak awalnya sebagai bahasa yang demokratis dan tidak mencerminkan status sosial pemakainya, sehingga disepakati pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Oleh karena itu, generasi muda Indonesia dari berbagai etnis dapat dengan mudah mempelajari bahasa Indonesia. Tujuan penulisan skripsi ini diharapkan agar semakin banyak khalayak yang memahami dinamika keluarga di Indonesia. Kata Kunci: Bahasa, EYD, Politik Bahasa, Kongres Bahasa Indonesia, Bahasa Politik The change in spelling which coincided with the initial steps of the New Order regime made some groups in the pro-Sukarno society consider it a policy to erase Soekarno's traces. Some people also said that this policy was none other than an attempt to censor books that had been published during the Old Order and New Order eras. In practice, Indonesian politics has not only experienced politicization through its spelling, but the politicization of Indonesian has produced a powerful weapon since it was proposed to become the national language during the second youth oath. These politicizations did not only spread through speech but spread massively through writing. The Malay language, which is the root of Indonesian, is a language that had spread earlier since the growth of maritime culture for centuries. Coastal people networked with each other and used Malay as an intermediary language for communication. Centuries later, the Youth Pledge appeared, which consciously made the decision to unite young people with various ethnic groups using Indonesian as the identity of their speakers. The Indonesian language during the Old Order began to be improved from the beginning of standardization to the replacement of spelling. The Van Ophuijsen Spell that was used and spread by the colonial government was replaced by the presence of the Suwandi Spell, this indicates that language is not just a means of communication but rather a political product to show who is in control. Spelling Suwandi, which was produced and introduced as an idea of the Old Order, suffered the same fate as Spelling Van Ophuijsen. The announcement of Suharto's Perfected Spelling on August 16, 1972 officially marked the end of the Suwandi Spell, it also meant letting him know that spelling as a product of language could be interpreted as a product of New Order language politics. The research method used is historical with a descriptive-narrative approach. The research data was taken from books, newspapers, articles regarding the influence and adaptation of Indonesian to its speakers. Besides that, the expansion of the influence of the Indonesian language with Enhanced Spelling to the new generation will cause difficulties in reading writing before the New Order. Enhanced Spelling (EYD) during the New Order era experienced rapid development. Starting from directed use to the target of the speakers. Mandatory dissemination of Indonesian language updates in schools and the use of Indonesian in scientific writing practices. The spread of this matter is supported and regulated by Law Number 2 of 1989 regarding the national education system which makes Indonesian the language of instruction in national education. This directly helps to perfect and enrich the Indonesian vocabulary which also absorbs foreign terms. The majority of words in Indonesian are absorbed from Malay, Arabic, Sanskrit, Dutch, Javanese and other regions. As an example of the absorption of the Dutch language which is still used today is spoor or which is absorbed into Indonesian with the script of the siding. The research results obtained in this study are that the collapse of the Old Order regime left a vocabulary that continued to be used as a political tool for the New Order. The language of the New Order regime seemed to be the antithesis of the language of the Old Order regime. Strong political will is needed to manage this complicated linguistic problem. Language politics must use Indonesian as a tool for the nation's democratic aspirations, not just as a tool for cultural modernization and uniting people. Since the beginning, Indonesian has been accepted as a democratic language and does not reflect the social status of its wearer, so it was agreed at the 1928 Youth Pledge. Therefore, Indonesian youth from various ethnicities can easily learn Indonesian. The purpose of writing this thesis is hoped that more and more audiences will understand family dynamics in Indonesia. Keywords: Language, EYD, Language Politics, Indonesian Language Congress, Political Language
Item Type: | Thesis (Sarjana) |
---|---|
Additional Information: | 1). Humaidi, M.Hum. 2). M. Hasmi Yanuardi, S.S., M.Hum. |
Subjects: | Ilmu Sejarah > Aneka Ragam Sejarah dan Teori Sejarah Sejarah Dunia > Indonesia Bahasa dan Kesusastraan > Linguistik Bahasa dan Kesusastraan > Bahasa Indonesia |
Divisions: | FIS > S1 Pendidikan Sejarah |
Depositing User: | Users 18733 not found. |
Date Deposited: | 24 Aug 2023 03:37 |
Last Modified: | 24 Aug 2023 03:37 |
URI: | http://repository.unj.ac.id/id/eprint/39462 |
Actions (login required)
View Item |